Hardiknas 2025: Meneguhkan Spirit Pendidikan Ki Hajar Dewantara melalui Pesantren dan Madrasah Beras

By admin 01 Sep 2025, 11:05:36 WIB Madrasah
Hardiknas 2025: Meneguhkan Spirit Pendidikan Ki Hajar Dewantara melalui Pesantren dan Madrasah Beras

Setiap 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Lebih dari sekadar seremonial tahunan, peringatan ini menjadi saat istimewa untuk mengenang, merefleksi, dan meneguhkan kembali nilai-nilai pendidikan yang diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara. Tokoh yang dihormati sebagai Bapak Pendidikan Nasional ini bukan hanya pelopor pendidikan formal di Indonesia, melainkan seorang pemikir visioner dengan gagasan yang tetap relevan menghadapi dinamika zaman.

Salah satu konsep penting yang diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara adalah Tripusat Pendidikan. Menurutnya, pendidikan yang ideal tidak cukup hanya berlangsung di ruang kelas, tetapi juga harus hadir di rumah dan di masyarakat. Ketiganya perlu bersinergi, membentuk sebuah ekosistem pendidikan yang utuh dan berkelanjutan. Di rumah, anak-anak belajar nilai-nilai dasar kehidupan seperti kasih sayang, tanggung jawab, dan sopan santun. Di sekolah, mereka memperoleh ilmu pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman belajar formal. Sementara itu, di lingkungan masyarakat, anak-anak dilatih untuk berinteraksi, peduli terhadap sesama, serta memahami budaya dan nilai-nilai sosial di sekitarnya. Ki Hajar Dewantara menyadari bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial budaya di mana anak hidup dan tumbuh, karena itulah peran tiga pusat ini harus berjalan beriringan demi membentuk manusia Indonesia seutuhnya (baca: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan Ki Hadjar Dewantara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1977).

Yang menarik, model pendidikan seperti ini sejatinya telah lebih dahulu dipraktikkan di pesantren-pesantren Nusantara. Melalui sistem asrama, pesantren tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu agama, tetapi juga membentuk karakter, kedisiplinan, etika sosial, dan spiritualitas para santrinya. Santri tidak sekadar belajar di ruang kelas, tetapi juga ditempa dalam aktivitas harian yang penuh nilai moral — mulai dari shalat berjamaah, musyawarah, hingga kegiatan sosial kemasyarakatan di lingkungan sekitar. Meski sekolah-sekolah Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara pada masanya tidak menggunakan sistem asrama, beliau tetap mengakui pentingnya pendidikan berbasis komunitas yang terus hidup dalam keseharian, karena pendidikan karakter sejatinya tidak bisa hanya diajarkan di ruang kelas, melainkan harus ditanamkan dan dipraktikkan dalam keseharian anak-anak.

Lebih jauh, pentingnya pendidikan karakter menjadi semakin mendesak di era modern saat ini. Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai survei dan penelitian pendidikan di Indonesia menunjukkan adanya penurunan moralitas dan akhlak generasi muda. Fenomena seperti meningkatnya perundungan, intoleransi, hedonisme digital, hingga lemahnya etika sosial di ruang publik menjadi isyarat bahwa nilai-nilai karakter mulai tergerus di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahkan menegaskan bahwa pendidikan karakter kini menjadi aspek paling krusial dalam pembaruan sistem pendidikan nasional (baca: Profil Pelajar Pancasila, Kemdikbud; 2020). Maka, model pendidikan berbasis komunitas, seperti di pesantren dan madrasah berasrama, menjadi relevan dan mendesak untuk diperluas karena terbukti efektif dalam membangun pribadi yang tangguh secara spiritual, sosial, dan intelektual di tengah tantangan zaman.

Pesantren: Model Nyata Tripusat Pendidikan

Ki Hajar Dewantara meyakini bahwa pesantren merupakan model pendidikan yang paling ideal bagi Indonesia, karena secara alami pesantren telah menerapkan konsep Tripusat Pendidikan yang ia gagas. Di lingkungan pesantren, proses pendidikan tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga berlangsung dalam komunitas sosial yang hidup, di mana santri belajar, beribadah, dan berinteraksi secara intens selama 24 jam penuh. Santri dididik bukan hanya oleh guru di ruang kelas, tetapi juga oleh lingkungan sekitar dan nilai-nilai sosial yang tumbuh di pesantren. Pada saat yang sama, hubungan santri dengan keluarganya tetap terjaga, baik melalui komunikasi langsung maupun melalui peran keluarga dalam mendukung pendidikan moral anak di pesantren.

Seperti yang disampaikan oleh Taufikin (2021), Revitalizing Pesantren as a Holistic Educational Institution in Indonesia, dalam jurnal Dinamika Ilmu, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan di Indonesia yang secara efektif mengintegrasikan ketiga pusat pendidikan tersebut — keluarga, sekolah, dan masyarakat — ke dalam satu ekosistem sosial religius yang kokoh. Pesantren tidak hanya memberikan pendidikan formal di kelas, tetapi juga membentuk karakter, membangun etika sosial, dan menanamkan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan santri sehari-hari. Lingkungan pesantren menjadi tempat di mana santri belajar tentang tanggung jawab, kepedulian sosial, solidaritas, dan hidup sederhana. Oleh karena itu, pesantren bukan hanya relevan untuk pendidikan keagamaan, tetapi juga berpotensi menjadi model pendidikan karakter nasional yang kontekstual dan berakar kuat pada budaya lokal Indonesia.

Dalam sistem pendidikan pesantren, peran guru tidak terbatas pada pengajaran materi akademik, melainkan juga mencakup fungsi sebagai pembimbing moral, motivator, dan teladan bagi para murid. Konsep ini sejalan dengan filosofi Among yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara, yang menekankan pendekatan pendidikan yang penuh kasih sayang, tidak memaksa, dan memberi ruang bagi anak untuk berkembang sesuai dengan kodratnya. Sebagai analogi, seperti seorang petani yang merawat benih, pendidik berperan dalam membimbing anak-anak didik untuk tumbuh menjadi individu yang baik, sesuai dengan potensi masing-masing, bukan semata-mata mengejar nilai atau peringkat akademik.

Keharmonisan hubungan antara guru dan santri menjadi elemen sentral dalam pendidikan pesantren. Proses pembentukan karakter, moralitas, dan spiritualitas berjalan seiring dengan upaya penguatan intelektual. Oleh karena itu, pesantren tidak hanya memiliki relevansi yang tinggi dalam konteks pendidikan agama, tetapi juga dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk mengembangkan sistem pendidikan nasional yang berbasis pada nilai-nilai karakter.

Madrasah Berasrama: Revitalisasi Pesantren Modern

Di tengah arus globalisasi yang terus berkembang pesat dan semakin kompleks, nilai-nilai moral serta sosial masyarakat menghadapi tantangan yang signifikan. Dalam konteks ini, model pendidikan berasrama yang sempat populer di pesantren pada masa lalu kini mulai diadaptasi kembali dalam format yang lebih modern melalui madrasah-madrasah unggulan berasrama di Indonesia. Pendekatan ini mencerminkan upaya untuk mengimbangi perubahan zaman sambil tetap menjaga esensi nilai-nilai luhur dalam pendidikan.

Madrasah seperti MAN Insan Cendekia Serpong, MAN IC Gorontalo, MAN 2 Kota Malang, dan MAN 2 Pekanbaru telah menjadi contoh konkret yang menunjukkan bagaimana sistem pendidikan berasrama tetap relevan dan bahkan unggul di era kontemporer. Madrasah-madrasah tersebut tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan akademik, tetapi juga sebagai tempat yang membentuk karakter dan identitas peserta didiknya. Di lingkungan ini, pendidikan karakter, kepemimpinan, penguatan kemampuan bahasa asing, serta program tahfidz dan literasi digital berjalan seiring dengan pencapaian akademik yang terstruktur dengan baik.

Filosofi Tripusat Pendidikan, yang menekankan pentingnya keterlibatan tiga pilar utama—keluarga, sekolah, dan masyarakat—tercermin dengan sangat jelas dalam ekosistem pendidikan berasrama, khususnya di madrasah-madrasah unggulan tersebut. Dalam konteks ini, asrama bukan sekadar tempat tinggal bagi santri atau siswa, tetapi juga merupakan ruang yang mengintegrasikan komponen-komponen pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam lingkungan asrama, konsep learning community (komunitas belajar) dan living community (komunitas hidup) dihidupkan secara simultan. Sebagai komunitas belajar, asrama berfungsi sebagai tempat di mana proses pendidikan tidak hanya berlangsung dalam ruang kelas, tetapi juga dalam interaksi sosial yang melibatkan seluruh anggota komunitas. Setiap aktivitas di asrama—baik itu diskusi, tugas kelompok, maupun kegiatan informal lainnya—merupakan bagian dari proses belajar yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, sebagai komunitas hidup, asrama memberikan ruang bagi para siswa untuk mengembangkan nilai-nilai sosial dan moral, serta keterampilan hidup yang tidak diperoleh semata-mata melalui pelajaran akademik. Di sini, mereka belajar tentang tanggung jawab, disiplin, kerja sama, dan empati dalam interaksi mereka dengan sesama teman dan pengasuh asrama. Kehidupan di asrama pun memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengenal dan mengembangkan potensi diri, memperkuat karakter pribadi, serta membentuk kebiasaan hidup yang sehat dan produktif. Interaksi antara berbagai elemen pendidikan ini menciptakan keseimbangan yang memperkaya proses pembelajaran, menghubungkan pengetahuan yang didapat di kelas dengan pengalaman nyata dalam kehidupan mereka di luar kelas.

Keberhasilan model pendidikan berasrama ini semakin mendorong wacana untuk mengembangkan kembali konsep Sekolah Rakyat Berasrama yang berbasis pada nilai-nilai lokal, budaya Nusantara, dan Pancasila. Konsep tersebut tidak hanya berfokus pada pencapaian akademik, tetapi juga memperkuat identitas nasional dan karakter bangsa. Pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai lokal dan budaya Nusantara menjadi sangat relevan, mengingat tantangan globalisasi yang semakin menyatukan dunia namun juga berpotensi mengikis kekayaan tradisi dan budaya daerah. Dengan demikian, sistem pendidikan berasrama yang mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dan budaya lokal akan menjadi langkah strategis dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat dalam karakter dan jati diri.

Karakter Kuat, Prestasi Hebat

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan karakter merupakan fondasi utama bagi lahirnya prestasi akademik yang berkelanjutan. Sejumlah madrasah berasrama di Indonesia telah membuktikan bahwa karakter yang kuat bukan hanya pelengkap, melainkan syarat mutlak untuk membangun generasi yang unggul. Para siswa di lingkungan ini tidak hanya dikenal berprestasi dalam bidang sains, riset, dan tahfidzul Qur’an, tetapi juga memiliki kepribadian santun, ketangguhan mental, serta kepedulian sosial yang tinggi. Hidup bersama di dalam asrama menjadi ruang pembelajaran yang tidak tergantikan, di mana setiap individu belajar memahami perbedaan, mengelola emosi, dan membangun solidaritas di tengah dinamika kehidupan kolektif.

Di balik rutinitas belajar, ibadah, dan kegiatan sosial, tumbuh nilai-nilai cinta yang tulus di antara sesama penghuni asrama. Mereka saling berbagi, saling menguatkan di saat lemah, dan saling menegur dalam kebaikan. Tradisi makan bersama, ronda malam, hingga kerja bakti membersihkan lingkungan bukan sekadar aktivitas harian, tetapi bagian dari proses pembentukan karakter yang kokoh dan nilai hidup sederhana yang membumi. Dari kebersamaan inilah lahir kepekaan sosial yang tinggi; para santri belajar peka terhadap kondisi teman, lingkungan sekitar, dan tantangan sosial yang lebih luas.

Lebih dari itu, pola hidup sederhana yang dijalankan dalam keseharian mereka bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah laku pendidikan moral yang membentuk mentalitas kuat, menjauhkan diri dari sikap hedonis, serta menanamkan nilai-nilai kesabaran dan keikhlasan. Dalam suasana penuh kebersamaan itu, prestasi akademik pun tumbuh secara alamiah karena didorong oleh lingkungan yang sehat secara emosional, spiritual, dan sosial. Oleh sebab itu, model pendidikan berasrama tidak hanya mencetak siswa cerdas, tetapi juga pribadi tangguh yang siap menghadapi berbagai tantangan kehidupan, dengan hati yang lapang dan jiwa yang penuh empati.

Model pendidikan berasrama yang diterapkan di madrasah-madrasah unggulan Indonesia, seperti MAN Insan Cendekia, MAN Program Keagamaan, Madrasah swasta unggulan yang berbasis pesantren menjadi contoh konkret bagaimana konsep integrasi akademik dan karakter dapat berjalan harmonis. Di lingkungan asrama, peserta didik tidak hanya mendapatkan pelajaran akademik, tetapi juga dibina dalam hal moralitas, kepemimpinan, solidaritas sosial, dan kedisiplinan hidup bersama. Program-program unggulan seperti tahfidzul Qur’an, penguatan bahasa asing, pelatihan kepemimpinan, hingga riset ilmiah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan ini, menjadikan madrasah berasrama sebagai ruang tumbuh yang komprehensif.

Hasilnya pun dapat terlihat secara nyata. Prestasi demi prestasi berhasil diraih di berbagai tingkat kompetisi, mulai dari Kompetisi Sains Madrasah (KSM), Madrasah Young Researcher Camp (MYRES), hingga ajang tahfidz dan keagamaan. Pencapaian tersebut lahir dari sebuah budaya pendidikan yang menanamkan nilai-nilai keagamaan, membangun suasana kompetitif yang sehat, serta memberikan pendampingan intensif dalam lingkungan komunitas berasrama yang sarat nilai.

Lebih jauh, pendidikan karakter di madrasah berasrama tidak semata berorientasi religius, tetapi juga membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir kritis, kolaboratif, dan adaptif. Hal ini menjadi sangat relevan di era disrupsi saat ini, di mana kecerdasan intelektual tanpa diimbangi karakter kuat hanya akan berpotensi menimbulkan ketimpangan sosial baru. Dengan demikian, model pendidikan seperti ini bukan sekadar solusi untuk kebutuhan akademik, tetapi juga investasi strategis bagi masa depan bangsa.

Meneguhkan Kembali Spirit Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Memasuki Hari Pendidikan Nasional 2025, bangsa Indonesia perlu meneguhkan kembali spirit pendidikan yang diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara. Bukan sekadar mengenang, tetapi menghidupkan kembali gagasan luhur tentang pendidikan berbasis karakter, kemerdekaan berpikir, dan keharmonisan sosial.

Di tengah tantangan globalisasi dan disrupsi teknologi, kita memerlukan model pendidikan yang tidak hanya mencetak generasi cerdas, tetapi juga memiliki hati nurani, integritas, dan kepedulian sosial. Pendidikan masa depan Indonesia adalah pendidikan yang hidup di tengah masyarakatnya, yang membentuk karakter anak-anak bangsa lewat keseharian, interaksi sosial, dan kebersamaan. Ki Hajar Dewantara pernah membayangkan Indonesia memiliki sekolah-sekolah berbasis komunitas (sebut saja pesantren), di mana guru bukan hanya pengajar materi pelajaran, tetapi juga orang tua kedua dan sahabat bagi muridnya. Tempat di mana anak-anak bisa tumbuh sesuai kodratnya, bebas berpikir, belajar hidup bersama dalam keberagaman, dan menjaga nilai-nilai luhur budaya bangsa.

Pesantren dan madrasah berasrama hari ini menjadi cermin nyata gagasan itu. Bayangkan jika model ini diperluas ke sekolah-sekolah umum, sekolah rakyat, hingga komunitas belajar berbasis desa atau kampung. Di sana, anak-anak tidak hanya dididik untuk pintar, tetapi juga diajak bertanggung jawab, saling menghargai, dan peduli lingkungan sosial. Jadi makna pendidikan yang sesungguhnya adalah mengajarkan, “bahwa hidup bukan soal bersaing, melainkan soal berkontribusi. Bukan soal menjadi yang terbaik, tetapi soal menjadi manusia yang bermanfaat”. Inilah cita-cita luhur pendidikan Ki Hajar Dewantara, yang sepatutnya menjadi arah pembaruan pendidikan Indonesia di masa depan.

Seperti pesan abadi Ki Hajar Dewantara: Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan.

“Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025”. Saatnya meneguhkan spirit Ki Hajar Dewantara, membangun peradaban bangsa yang bermartabat, berkarakter, dan berdaya saing di pentas dunia.*****

Dr. A. Umar, MA (Dosen FITK UIN Walisongo Semarang)

sumber: kemenag.go.id




Write a Facebook Comment

Komentar dari Facebook